Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan tarif baru sebesar 10 persen terhadap hampir semua barang impor yang masuk ke Amerika, Rabu (2/4/2025).
Trump juga memberlakukan tarif timbal balik terhadap sejumlah negara.
Kebijakan ini mengejutkan pemerintah dan investor di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Lantas, bagaimana fakta-fakta seputar kebijakan tarif timbal balik Trump dan dampaknya bagi Indonesia?
Kritik terhadap Kebijakan Trump
Pemimpin Minoritas DPR AS Hakeem Jeffries mengecam kebijakan tarif yang akan diberlakukan Trump.
Ia menilai, Partai Republik tengah menghancurkan ekonomi Amerika secara langsung dan membawa negara itu menuju resesi.
“Partai Republik menghancurkan ekonomi AS secara langsung dan membawa kita ke resesi. Ini bukan Hari Pembebasan, ini hari resesi di Amerika serikat,” komentarnya, dikutip dari YouTube KompasTV.
Tarif Timbal Balik terhadap Indonesia
Dilansir KompasTV sebelumnya, Indonesia tercantum dalam daftar tarif timbal balik yang diumumkan Trump, Rabu waktu setempat.
Disebutkan bahwa Indonesia menerapkan tarif sebesar 64 persen terhadap barang-barang dari Amerika Serikat.
Sebagai respons, AS akan mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap barang-barang Indonesia yang dijual di Amerika. Tarif ini akan berlaku mulai Rabu (9/4/2025).
Trump menyatakan bahwa dana dari penerapan tarif ini akan digunakan untuk mengurangi pajak dan membayar utang nasional.
Komoditas Ekspor Indonesia yang Berpotensi Terdampak
Dilansir web Kemlu, pengenaan tarif timbal balik akan memberikan dampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS.
Indonesia memiliki sejumlah produk ekspor utama di pasar AS, antara lain adalah elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, udang, dan produk-produk perikanan laut.
Oleh karena itu, pemerintah akan melakukan sejumlah langkah dalam menyikapi kebijakan yang diambil oleh Trump.
Langkah yang Akan Diambil Pemerintah Indonesia
Pemerintah Indonesia menyatakan akan segera menghitung dampak pengenaan tarif AS terhadap sektor-sektor tersebut dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, seperti dilansir web Kemlu.
Pemerintah juga akan mengambil langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian nasional Indonesia.
Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya untuk menjaga stabilitas yield Surat Berharga Negara (SBN) di tengah gejolak pasar keuangan global paska pengumuman tarif timbal balik AS.
Bersama Bank Indonesia, Pemerintah Indonesia menyatakan akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memastikan likuiditas valas tetap terjaga agar tetap mendukung kebutuhan pelaku dunia usaha serta memelihara stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Selain itu, pemerintah Indonesia telah mempersiapkan berbagai strategi dan langkah untuk menghadapi penerapan tarif resiprokal AS dan melakukan negosiasi dengan pemerintah AS.
Tim lintas kementerian dan lembaga, perwakilan Indonesia di AS, dan para pelaku usaha nasional telah berkoordinasi secara intensif untuk persiapan menghadapi tarif timbal balik AS.
Pemerintah Indonesia menyatakan akan terus melakukan komunikasi dengan pemerintah AS dalam berbagai tingkatan, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah AS.
Sebagai bagian dari negosiasi, Indonesia juga telah menyiapkan berbagai langkah untuk menjawab permasalahan yang diangkat oleh AS, terutama yang disampaikan dalam laporan National Trade Estimate (NTE) 2025 yang diterbitkan US Trade Representative.
Selain itu, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan langkah strategis dan perbaikan struktural serta kebijakan deregulasi, yaitu penyederhaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan Non-Tariff Barrier.
Hal ini juga sejalan dalam upaya meningkatkan daya saing, menjaga kepercayaan pelaku pasar, dan menarik investasi untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Langkah kebijakan strategis lainnya akan ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk terus memperbaiki iklim investasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja yang luas.
Selain itu, Indonesia telah berkomunikasi dengan Malaysia selaku pemegang keketuaan ASEAN untuk mengambil langkah bersama mengingat 10 negara ASEAN seluruhnya terdampak pengenaan tarif AS.
Dampak Kebijakan Trump ke Ekonomi Indonesia
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira memberikan tanggapannya mengenai dampak kebijakan Trump terhadap ekonomi Indonesia.
Menurutnya, pemberlakuan tarif ini akan membuat biaya masuk barang-barang buatan Indonesia ke Amerika Serikat menjadi lebih mahal secara signifikan.
“Artinya adalah semua produk Indonesia yang dikirim ke Amerika itu minimum akan kena tarif 10%, plus kemudian 32%,” kata Bhima dalam program Kompas Bisnis KompasTV, Jumat (4/4/2025).
Hal ini bisa menyebabkan produk yang dihasilkan Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan produk yang dihasilkan di dalam negeri Amerika.
Bhima menjelaskan, beberapa sektor yang berpotensi terdampak kebijakan tarif ini seperti otomotif, alas kaki, pakaian, minyak kelapa sawit, sampai elektronik juga.
Ia mengatakan, sebagian besar sektor padat karya ini sudah mengalami kelesuan dalam beberapa tahun terakhir, gelombang PHK-nya juga cukup meningkat.
Lantas, jika ditambah beban tarif yang semakin besar untuk barang-barang yang masuk ke Amerika, ini akan menyebabkan “spiral of doom effect”.
“Artinya, apa yang terjadi dengan perang tarif ini dampaknya akan langsung terasa bagi penurunan pemesanan order dari brand-brand internasional, khususnya pakaian jadi dan sepatu di Indonesia,” kata Bhima.
Terlebih, jika ditambah dengan kondisi kemerosotan nilai rupiah, kebijakan tarif ini juga bisa menyebabkan inflasi di Indonesia.
“Ini akan mendorong imported inflations atau inflasi yang diciptakan karena biaya impor akan meningkat,” ujar Bhima.
Tidak hanya itu, kebijakan tarif Trump juga berpotensi menurunkan penerimaan pajak Indonesia.
Bhima menilai, penerimaan pajak yang sudah turun pada bulan Januari dan Februari tahun ini, ditambah dengan tekanan ekspor, bisa menyebabkan penurunan pajak negara yang cukup signifikan.
“Jadi rasio pajaknya kemungkinan tahun ini hanya kisaran 9 sampai 9,5%. Jadi jauh sekali dari target pemerintah, itu yang perlu kita antisipasi,” kata Bhima.
Sumber KompasTV